Metrotvnews.com, Jakarta: Lapisan es di Puncak Jaya, Jayawijaya, Papua, kini tinggal 22 persen dari luas keseluruhan. Itu disampaikan Dwi Susanto, peneliti asal Indonesia dari Lamont-Doherty Earth Observatory Columbia University saat jumpa pers Tim Peneliti-Amerika Serikat di Kantor Badan Meteoogi, Klimatologi, dan Geofisika, Jakarta, Kemarin. "Dari berbagai data yang ada di sini seperti foto udara dan data citra satelit, lapisan es di Puncak Jaya berkurang drastis 78 persen pada 2006 sejak 1936," kata Dwi mengutip dari data Prentice 2007. Data itu mencatat luas lapisan es Punjak Jaya mulai 1936 hingga 2000. Namun, Dwi belum bisa menyebutkan berapa luas lapisan es dulu dan sekarang. Dwi hanya menjelaskan, lapisan es berkurang secara drastis akibat pengaruh perubahan iklim, yakni perubahan cuaca lebih panas yang akan mengumpul di sekitar kawasan ekuator. Karena itu, Indonesia-Amerika melakukan penelitian di Puncak Jaya selama tiga minggu. Tim berangkat pada Selasa malam. Mereka akan mengambil contoh inti es dengan pengeboran. Puncak Jaya dipilih karena mewakili keberadaan lapisan es abadi di daerah ekuator. Lapisan es inilah yang dipelajari untuk melihat kronologis perubahan iklim yang terjadi di daerah tersebut. Selain es, tim juga akan mengambil conoh serangga dan tumbuh-tumbuhan di puncak tersebut. Tim juga berencana memasang stasiun pemantau guna mendapat informasi cuaca di Puncak Jaya. Kepala BMKG, Sri Woro Harijono, mengatakan, meneliti lapisan es tak hanya memprediksi masa depan. Namun juga melihat sejarah perubahan iklim di Indonesia dan di kawasan Asia Pasifik. Sri mengatakan, Puncak Jaya merupakan salah satu dari tiga puncak gunung tropis yang diselimuti lapisan es permanen. Dua lainnya adalah uncak Gunung Kilimanjaro, Tanzania, dan Puncak Pegunungan Andes, Peru, Amerika Latin. Tim peneliti terdiri atas Dodo Gunawan (peneliti BMKG), Dwi Susanto (peneliti dari Lamont-Doherty Earth Observatory/LDEO, Columbia University-AS), Lonnie G. Thompson (peneliti Byrd Polar Research Center-Ohio State University-AS), sejumlah peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan dua mahasiswa pascasarjana dari Indonesia.(Ant/****)